-->
Contoh Banner

Kisah Tabi'in Uwais Al Qarni, Terkenal di Langit Tak Dikenal Di Bumi

Kisah Tabi'in Uwais Al Qarni, Terkenal di Langit Tak Dikenal Di Bumi
Kisah Tabi'in Uwais Al Qarni, Terkenal di Langit Tak Dikenal Di Bumi
Tak dikenal di bumi namun sangat terkenal di langit, itulah Uwais Al Qarni. Hingga dia disebut" sebagai Tabi'in terbaik sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda, "Sebaik-baik Tabi'in adalah seorang yang disebut dengan Uwais dan ia memiliki seorang ibu dan juga punya penyakit kusta; maka mintalah kepadanya agar ia memohonkan ampunan kepada Allah untuk kalian." (Shahih Muslim, juz IV: 1968; Musnad Ahmad, juz I: 38).

Uwais Al Qarni merupakan seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit. Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa’at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at sejumlah qobilah Robi’ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya. Dia adalah “Uwais al-Qarni”. Beliau tak dikenal orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduh beliau sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.

Menurut al kisah dia tinggal di Yaman dan dia hanya bekerja sebagai pengembala domba bayaran, dia begitu miskin hingga tak jarang dia diperolok oleh masyarakat namun dibalik kemiskinannya itu dia tetap menyisihkan sedikit rizkinya untuk menolong orang-orang yang membutuhkan. Dia tak memiliki sanak saudara selain ibunya, ibunya pun juga sudah sangat lemah, sudah sangat tua sakit-sakitan dan buta. Dia begitu menyayangi dan patuh terhadap ibunya.

Dalam keseharian dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berdzikir dan beribadah pada Allah, dia tak banyak berbicara hingga tak banyak orang yang mengenalnya. Rabi' ibn Khutsaim berkata, "Aku pergi ke tempat Uwais al-Qarni. Aku mendapati beliau sedang duduk setelah selesai menunaikan shalat Subuh. Aku berkata (pada diriku), "Aku tidak akan mengganggunya dari bertasbih. Setelah masuk waktu Dzuhur, beliau mengerjakan shalat Dzuhur, dan begitu masuk waktu Ashar, beliau shalat Ashar. Selesai shalat Ashar, beliau duduk sambil berdzikir hingga tiba waktu Maghrib. Setelah shalat Maghrib, beliau menunggu waktu Isya', kemudian shalat Isya'. Selesai shalat Isya', beliau mengerjakan shalat hingga menjelang Subuh. Setelah shalat Subuh, beliau duduk dan tanpa sengaja tertidur. Tiba-tiba saja beliau terbangun. Ketika itu aku mendengar dia berkata, 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari mata yang senang tidur, dan perut yang tidak merasa kenyang.'" (az-Zuhdul Awa'il, Musthafa Hilmi, 84).

Diceritakan ketika terjadi perang Uhud, Rasulullah mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, sekalipun ia belum pernah melihatnya.

Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah.

Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata : “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.
Perjalananya menuju ke Madinah sangat berat, dia harus melewati gurun pasir dan bukit-bukit dengan berjalan kaki, namun itu semua terkalahkan dengan rasa rindunya pada Rasulullah.

Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah Aisyah radhiyallahu 'anha, sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Rasulullah dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”. Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan keinginannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada Aisyah radhiyallahu 'anha untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan melangkah pulang dengan perasaan haru.

Sepulangnya dari perang, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit).

Mendengar perkataan baginda Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Aisyah radhiyallahu 'anhu dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi Aisyah radhiyallahu 'anha, memang benar ada yang mencari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.

Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya. ”Sesudah itu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, memandang kepada Ali dan Umar dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.

Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, hingga kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu telah di estafetkan Khalifah Umar radhiyallahu 'anhu.

Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada Ali radhiyallahu 'anhu untuk mencarinya bersama.
Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka.

Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah.

Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar radhiyallahu 'anhu dan Ali radhiyallahu 'anhu mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar dan Ali memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman.

Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais. Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?” Uwais kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qorni”. Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”.

Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.

Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal. Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya.

Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya. Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan Khalifah Umar radhiyallahu 'anhu)

Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.

Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya : “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi menjadi terkenal di langit.

Tak dikenal di bumi namun sangat terkenal di langit, itulah Uwais Al Qarni. Hingga dia disebut" sebagai Tabi'in terbaik sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda, "Sebaik-baik Tabi'in adalah seorang yang disebut dengan Uwais dan ia memiliki seorang ibu dan juga punya penyakit kusta; maka mintalah kepadanya agar ia memohonkan ampunan kepada Allah untuk kalian." (Shahih Muslim, juz IV: 1968; Musnad Ahmad, juz I: 38).

Uwais Al Qarni merupakan seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit. Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa’at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at sejumlah qobilah Robi’ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya. Dia adalah “Uwais al-Qarni”. Beliau tak dikenal orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduh beliau sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.

Menurut al kisah dia tinggal di Yaman dan dia hanya bekerja sebagai pengembala domba bayaran, dia begitu miskin hingga tak jarang dia diperolok oleh masyarakat namun dibalik kemiskinannya itu dia tetap menyisihkan sedikit rizkinya untuk menolong orang-orang yang membutuhkan. Dia tak memiliki sanak saudara selain ibunya, ibunya pun juga sudah sangat lemah, sudah sangat tua sakit-sakitan dan buta. Dia begitu menyayangi dan patuh terhadap ibunya.

Dalam keseharian dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berdzikir dan beribadah pada Allah, dia tak banyak berbicara hingga tak banyak orang yang mengenalnya. Rabi' ibn Khutsaim berkata, "Aku pergi ke tempat Uwais al-Qarni. Aku mendapati beliau sedang duduk setelah selesai menunaikan shalat Subuh. Aku berkata (pada diriku), "Aku tidak akan mengganggunya dari bertasbih. Setelah masuk waktu Dzuhur, beliau mengerjakan shalat Dzuhur, dan begitu masuk waktu Ashar, beliau shalat Ashar. Selesai shalat Ashar, beliau duduk sambil berdzikir hingga tiba waktu Maghrib. Setelah shalat Maghrib, beliau menunggu waktu Isya', kemudian shalat Isya'. Selesai shalat Isya', beliau mengerjakan shalat hingga menjelang Subuh. Setelah shalat Subuh, beliau duduk dan tanpa sengaja tertidur. Tiba-tiba saja beliau terbangun. Ketika itu aku mendengar dia berkata, 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari mata yang senang tidur, dan perut yang tidak merasa kenyang.'" (az-Zuhdul Awa'il, Musthafa Hilmi, 84).

Diceritakan ketika terjadi perang Uhud, Rasulullah mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, sekalipun ia belum pernah melihatnya.

Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah.

Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata : “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.
Perjalananya menuju ke Madinah sangat berat, dia harus melewati gurun pasir dan bukit-bukit dengan berjalan kaki, namun itu semua terkalahkan dengan rasa rindunya pada Rasulullah.

Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah Aisyah radhiyallahu 'anha, sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Rasulullah dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”. Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan keinginannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada Aisyah radhiyallahu 'anha untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan melangkah pulang dengan perasaan haru.

Sepulangnya dari perang, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit).

Mendengar perkataan baginda Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Aisyah radhiyallahu 'anhu dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi Aisyah radhiyallahu 'anha, memang benar ada yang mencari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.

Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya. ”Sesudah itu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, memandang kepada Ali dan Umar dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.

Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, hingga kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu telah di estafetkan Khalifah Umar radhiyallahu 'anhu.

Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada Ali radhiyallahu 'anhu untuk mencarinya bersama.
Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka.

Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah.

Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar radhiyallahu 'anhu dan Ali radhiyallahu 'anhu mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar dan Ali memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman.

Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais. Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?” Uwais kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qorni”. Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”.

Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.

Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal. Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya.

Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya. Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan Khalifah Umar radhiyallahu 'anhu)

Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.

Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya : “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi menjadi terkenal di langit.
Advertisement